Pernahkah Anda berfikir, bahwa pembaca yang merupakan penggemar Anda, mereka akan membagikan (share) kepada kawan mereka? Kira-kira, apakah teknik induksi Anda masih berlaku untuk orang yang tidak terlalu mengenal Anda? Akankah mereka mengangguk juga? Mereka, kawannya penggemar Anda, disebut sebagai lapis kedua.
Andaikan lapis kedua mengangguk dan membagikan ulang artikel/sales letter Anda ke lapis ketiga, apakah mereka masih mengangguk atau menggeleng?
- Lapis pertama: penggemar (fans atau friends)
- Lapis kedua: teman dari penggemar
- Lapis ketiga: teman dari temannya penggemar
Contoh kasus..
Postingan yang sama di akun personal, fanpage dan grup FB saya, bisa berbeda penangkapannya.
Di akun personal, kebanyakan kawan sebaya saya dan mereka adalah kawan (sebaya) saya. Maka dari itu, saya jarang berbagi tulisan tentang bisnis. Sering unggah yang ringan-ringan, berita tentang personal dan keluarga.
Fanpage meski namanya ‘fans’, tapi dari algoritma FB yang mensejajarkan fans dan kemudahan untuk join, membuat fanpage memiliki hirarki lebih rendah dari Grup FB. Karena di Grup FB yang saya kelola, tak semua orang bisa bergabung, setidaknya harus melalui request dan approval. Jangan kaget jika di fanpage masih menemui celotehan orang iseng atau haters. Kalau hal itu terjadi di grup, sudah dimaki-maki kawan satu grup atau ditendang dari grup.
Bagaimana dengan sales letter untuk iklan? Sales letter tak sesensitif artikel motivasi/kehidupan, karena orang yang membaca biasanya agak bisa memaklumi bahasa orang dagang. Jika target pasar Anda termasuk orang yang belum mengenal Anda, maka berhati-hatilah menggunakan teknik Personal Power.
Hindari kata ‘saya’, ‘aku’ berlebih, juga kurangi kata ‘anda’ yang bersifat menggurui. Misalnya:
“Saya akan membagikan rahasia itu kepada Anda..!”
“Saya sarankan Anda untuk..”
“Percayalah, saya sudah membuktikannya..”
Kamu siapa tho le.. koq bahasamu sok-sok-an banget..?! Hahaha..
Jika Anda berencana untuk membina hubungan jangka panjang melalui tulisan Anda, sebaiknya hindari ‘vibrasi kesombongan’ atau menjuali terus-menerus. Bagaimanapun bahasa ‘ketulusan’ akan terasa bedanya, meresap dalam hati.
Terus sebaiknya bagaimana? Dalam penulisan (terutama) artikel tentang kehidupan, Anda bisa mengganti dengan kata ‘kita’, seolah tidak menunjuk secara langsung.
Jika ingin ‘menampar’, gunakan ‘My Friend John Said’, seperti dibawah ini.
Kutipan orang yang memiliki Otoritas (diagungkan)
“If the only tool you have is a hammer, you tend to see every problem as a nail” ~ Abraham Maslow. Bisa dilanjut dengan ‘ajakan’ menggunakan kata ‘kita’.
Data Riset dari Institusi Ternama
“83% Transaksi bisnis closed, karena pembeli menyukai penjualnya, bukan semata produknya” ~ Kerry L. Johnson, Sales Magic. Meski biasanya mayoritas audiens tak menanyakan validitas data tersebut, karena dikutip dari sebuah buku best seller dengan pengarang yang ternama.
Kisah Nyata atau Sejarah (fakta)
“Saya belajar dari kesalahan saya mendidik anak pertama dan sejak itu saya berjanji tak akan mengulanginya.”. Kisah yang diceritakan dengan kerendahan hati, mengakui kesalahan, secara tak sengaja ‘memukul’ pembaca yang pernah mengalaminya. Apalagi jika kisah tersebut adalah kisah para nabi.
Memang gak gampang berbicara dengan data/fakta, namun lebih sejuta umat. Bagaimana dengan kutipan ayat atau hadits? Sangat bagus, masalahnya setelah itu jika diikuti oleh bahasa yang menggurui (personal power) lagi, akan pupus makna dari ayat tersebut. Bukankah siapa yang berbicara lebih didengar daripada pesannya?
Jika Anda ingin mencoba kemampuan berfikir dan menulis berlapis, iklankan saja ke target pasar yang serupa, yang bukan fans Anda. Cara lain, gunakan akun baru yang bukan nama Anda. Cek respon (like, share) dan komentar mereka.
Berfikir berlapis juga berarti mengantisipasi pemikiran orang dari sudut pandang yang lain. Meski demikian bukan berarti harus mengakomodir semua orang. Selalu ada orang yang tak setuju dengan pendapat kita, kecuali sampling kecil dan di lapis pertama. [masJ]